Duit Rakyat untuk Beli Pakaian Dalam Tentara
Sabtu, 22 Maret 2025 08:04 WIB
Anggaran pembelian celana dalam pria di TNI dipatok senilai Rp170 juta. Mantap!
Riuhnya rapat dadakan anggota DPR di ruang Ruby 1 dan 2 Fairmont Hotel, seketika sunyi setelah muncul teriakan “Hentikan pembahasan dwifungsi RUU TNI, hentikan, hentikan bapak ibu.” Aksi yang dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil untuk sektor keamanan tersebut, sengaja dilakukan sebagai bentuk kritik kepada DPR karena telah melakukan rapat pembahasan RUU TNI secara diam-diam.
Menurut Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, masih banyak pasal di dalam RUU yang mengandung masalah, mengancam demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia. Sayangnya, segala tuntutan masyarakat sipil tidak menyurutkan ambisi DPR untuk tetap mengesahkan RUU TNI tepat pada Hari Kamis, 20 Maret 2025.
Berbagai kritik bertebaran di kalangan masyarakat dengan semangat tagar yang sama yaitu #TolakRUUTNI. Terkini, kemarahan warga kian memuncak setelah mengetahui bahwa salah satu alokasi anggaran TNI tahun 2025 yaitu pengadaan celana dalam pria. Melalui kanal Instagram @mawakresna, salah satu jurnalis Project Multatuli tersebut menampilkan e-katalog pembelian celana dalam pria di TNI dengan anggaran Rp. 170 juta!
Kasus ini seakan menjadi anomali di tubuh TNI. Di saat petingginya lantang melontarkan kata “kampungan” kepada pengkritik RUU TNI, akan tetapi realitanya kebutuhan sempak mereka pun sampai harus mengeruk pajak. Tapi, memang apa yang salah sempak dari pajak rakyat?
Bagi kami, kaum kelas bawah dan menengah, membicarakan penggunaan pajak sama artinya dengan menghitung seberapa banyak keringat kami akan diperas negara. Sehingga argumentasi yang perlu dibangun, sepenting apa sempak ini sampai negara harus merogoh pendapatan utamanya demi alat penutup kemaluan?
Pertanyaan mendasar ini rasa-rasanya wajib untuk diklarifikasi oleh institusi mereka sendiri. Mengingat Rezim terpilih saat ini sedang getol melakukan efisiensi, termasuk Komnas Perempuan yang harus merasakan dampaknya berupa pengurangan penanganan dan pemulihan kasus kekerasan perempuan sebanyak 75%. Bila fakta ini telah dibentangkan? Bukankah bisa kita terjemahkan bahwa pembelian sempak dianggap lebih penting ketimbang sebuah kepastian negara melindungi perempuan dari serangkaian kasus kekerasan yang terus menghantuinya?
Anggaran sempak adalah kenyataan pahit yang harus kami terima, sebab harus melihat peruntukan pajak negara untuk urusan privat. Kalau boleh jujur, satu-satunya kerelaan kami menyaksikan penggunaan pajak untuk sempak hanyalah dilandaskan atas rasa kasihan. Barangkali gaji mereka yang terus menaik sekitar 8%-12% dibanding tahun 2024 itu tetap tak mampu mencukupi kebutuhan sandangnya. Sedangkan, kami yang hanya jadi buruh kasar, petani desa, dan pekerja kantoran yang bergaji murah ini dituntut untuk menyisihkan rasa ibanya dengan mengorbankan pajak untuk mereka dan lebih membiasakan diri “sendiri” memakai kancut bolong yang perlahan mulai lusuh.
Munculnya pengadaan sempak kalau dipikir-pikir juga “seharusnya” mencederai keperkasaan oknum “halo dek” yang gemar flexing, loh! Bayangkan saja, branding menantu idaman, pria berseragam, dan jaminan gaji seumur hidup yang selalu jadi jurus mautnya setiap mencari pasangan seakan rontok di depan publik karena ternyata sempaknya hasil meminta negara.
Bahkan, akibat kepiawaian masyarakat menemukan pengadaan barang vital ini, jargon “halo dek” bisa saja berubah menjadi “halo dek, mas dapat sempak dek!.” Situasi ini tentu sangat mengkhawatirkan bagi oknum-oknum halo dek. Mengingat kritik publik telah jelas dan di depan mata, masyarakat tahu bahwa pengadaan ini dicurigai hanya untuk menghamburkan anggaran negara. Padahal, jika dirupiahkan dalam bentuk program makan bergizi gratis (MBG) seharga Rp. 15.000/porsi, pemerintah mampu melaksanakan MBG dengan jumlah sasaran 373 murid dalam kurun waktu 30 hari penuh.
Dilansir dari Media Indonesia, menurut catatan Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2020-2024 sekurang-kurangnya telah ada 190 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh prajurit TNI. Jika kasus-kasus ini disandingkan dengan pengadaan sempak, barangkali jenis sempak yang cocok diadakan adalah sempak besi. Karena, beratnya sempak ini diharapkan bisa menutup celah munculnya pelaku kekerasan seksual baru dari kalangan mereka, serta menumbuhkan rasa empati terhadap para korban kekerasan yang terus menanggung rasa sakit secara fisik dan trauma hidup.
Berkaca dari fenomena di atas, kasus sempak telah menuntun kita untuk menyaksikan betapa mudah patahnya “maskulinitas toksik” di lingkaran militer hanya karena belum mampu mandiri secara pribadi. Sebagai instansi yang dibekali persenjataan dan alat perang, militer seringkali dipandang mampu mengatasi berbagai masalah negara ditingkat tapak. Misalnya; pembukaan lahan food estate, penyaluran program MBG, dan program lain yang dipandang strategis. Sekalipun dalam praktiknya banyak yang meleset seperti rusaknya hutan akibat gagalnya program food estate.
Catatan merah itu kini bertambah satu, yaitu belum adanya kemandirian mereka untuk mengatasi masalah yang sangat privat. Oleh karena itu, sebelum lebih jauh membicarakan soal pengamanan dan keamanan negara, alangkah lebih bijak agar mereka lebih dahulu mengatasi ketidakberdayaannya memenuhi kebutuhan sempak secara mandiri.
Apabila kami memang lahir di Indonesia ini hanya untuk dijadikan sapi perah, setidaknya kami masih memiliki prinsip hidup luhur. Menjadi manusia yang mampu mandiri tanpa harus mengemis ke negara untuk sekedar menutupi alat kelamin semata. Kami sadar, bahwa bisa bertahan hidup di Indonesia saja adalah sebuah kemewahan, walaupun kami tidak pernah tahu berapa banyak lagi upeti yang harus direlakan untuk alokasi anggaran sempak-sempak mereka di tahun berikutnya.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Derita WNI di Indonesia, Hidup Dicekik Pajak Demi Memuaskan Tunjangan Dewan
Rabu, 27 Agustus 2025 10:41 WIB
Duit Rakyat untuk Beli Pakaian Dalam Tentara
Sabtu, 22 Maret 2025 08:04 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler